MembuatMenu

Sabtu, 26 Mei 2012

Khutbah Tanpa Shalawat, Sahkah?

 Masalah di atas berkaitan dengan rukun-rukun khutbah Jum'at. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Di dalam kitab Al Fiqh 'Alal Madzhabil Arba'ah (Fiqih Menurut Madzhab Empat) 1/ 390-391, karya Abdurrahman Al Jaziri, disebutkan pendapat empat madzhab tentang rukun-rukun khutbah Jum'at. Ringkasnya sebagai berikut:
1. Hanafiyyah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki satu rukun saja. Yaitu dzikir yang tidak terikat atau bersyarat. Meliputi dzikir yang sedikit ataupun banyak. Sehingga untuk melaksanakan khutbah yang wajib, cukup dengan ucapan hamdalah atau tasbih atau tahlil. Rukun ini untuk khutbah pertama. Adapun pada khutbah kedua, hukumnya sunah.

2. Syafi'iyyah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki lima rukun. Pertama. Hamdalah, pada khutbah pertama dan kedua. Kedua. Shalawat Nabi, pada khutbah pertama dan kedua. Ketiga. Wasiat taqwa, pada khutbah pertama dan kedua. Keempat. Membaca satu ayat Al Qur'an, pada salah satu khutbah. Kelima. Mendo'akan kebaikan untuk mukminin dan mukminat dalam perkara akhirat pada khutbah kedua.

3. Malikiyyah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki satu rukun saja. Yaitu, khutbah harus berisi peringatan atau kabar gembira.
4. Hanabilah.
Mereka berpendapat, bahwa khutbah memiliki empat rukun. Pertama. Hamdalah, pada awal khutbah pertama dan kedua. Kedua. Shalawat Nabi. Ketiga. Membaca satu ayat Al Qur'an. Keempat. Wasiat taqwa kepada Allah .
Demikianlah keterangan yang ada dalam kitab Al Fiqh 'Alal Madzhabil Arba'ah. Akan tetapi berkaitan dengan madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah ada keterangan lain. Yaitu sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad dalam kitab Imamatul Masjid, Fadhluha Wa Atsaruha Fid Dakwah, hal. 82. Beliau berkata,"Adapun (para ulama) Hanafiyyah dan Malikiyyah, mereka tidak menjadikan rukun-rukun untuk khutbah Jum'at. Para ulama Hanafiyyah berkata,'Jika (khotib) mencukupkan dengan dzikrullah, (maka) hal itu boleh. Tetapi dzikir ini harus panjang yang dinamakan khutbah'." 1)
Adapun para ulama Malikiyyah mengatakan,"Tidaklah khutbah mencukupi, kecuali apa yang dapat disebut dengan nama khutbah." 2)
Dengan keterangan di atas nampaklah, bahwa madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah dalam hal ini sama.
Kemudian -sebagaimana telah kita ketahui- bahwa sebagian umat Islam di Indonesia ini menyatakan mengikuti madzhab -kebanyakan mengikuti madzhab Syafi'iyyah. Sehingga mereka berkeyakinan, bahwa membaca shalawat Nabi dalam khutbah Jum'at merupakan rukun. Jika ditinggalkan, khutbahnya menjadi tidak sah! Namun benarkah keyakinan demikian?
Dalam masalah ini, cukuplah kami nukilkan dari sebagian perkataan ulama yang telah dikenal konsistennya dalam berpegang kepada Al Kitab dan As Sunnah. Syaikh Al Imam Shidiq Hasan Khan berkata:
Ketahuilah, bahwa khutbah (Jum'at) yang disyari'atkan ialah yang biasa dilakukan oleh Nabi. Yaitu berupa menganjuran (kebaikan) kepada manusia dan mengancam mereka (dari keburukan). Sebenarnya inilah yang merupakan ruh khutbah. Atas landasan inilah khutbah disyari'atkan.
Adapun mensyaratkan dengan hamdalah atau shalawat kepada Rasulullah, atau membaca suatu ayat Al Qur'an, maka semuanya itu keluar dari tujuan maksimal disyari'atkannya khutbah Jum'at. Dan kebetulan, yang semisal dengan hal itu terdapat dalam khutbah beliau, tidaklah berarti menunjukkan bahwa hal itu merupakan tujuan yang wajib dan syarat yang harus ada. Orang yang insyaf tidak akan ragu, bahwa tujuan maksimal (khutbah Jum'at) adalah nasihat, bukan yang dilakukan sebelumnya yang berupa hamdalah dan shalawat kepada Rasulullah.
Telah menjadi kebiasaan bangsa Arab yang terus berlaku, bahwa jika seseorang di antara mereka berkehendak berdiri pada suatu tempat dan mengatakan suatu perkataan, maka dia memulai dengan memuji Allah dan bershalawat kepada RasulNya. Alangkah bagusnya hal ini dan alangkah utamanya! Akan tetapi, hal seperti itu bukanlah tujuan, bahkan tujuannya adalah apa yang ada setelahnya.
Nasihat di dalam khutbah Jum'at itulah yang dimaksudkan oleh hadits. Maka, jika seorang khatib telah melakukannya, berarti ia telah melakukan perbuatan yang disyari'atkan. Tetapi, jika ia membuka khutbahnya dengan sanjungan kepada Allah, dan shalawat kepada Rasulullah, atau dalam nasihatnya ia membawakan ayat-ayat Al Qur'an yang menyentuh hati, maka hal itu lebih sempurna dan lebih baik.
Adapun membatasi kewajiban -apalagi persyaratan (yakni rukun-red)- pada hamdalah dan shalawat, dan menjadikan nasihat (dalam khutbah) termasuk perkara-perkara yang dianjurkan saja, maka ini membalik pembicaraan dan mengeluarkannya dari bentuk yang diterima oleh orang-orang yang agung.
Kesimpulannya, bahwa ruh khutbah (Jum'at) adalah nasihat yang baik; baik dari Al Qur'an ataupun lainnya. Kebiasaan Rasulullah dalam khutbahnya, beliau n membawakan (yakni mengucapkan) hamdalah, shalawat kepada RasulNya, syahadatain, dan satu surat yang lengkap. Tujuannya adalah nasihat dengan Al Qur'an dan menyampaikan larangan-larangan Al Qur'an. Dan hal itu tidak dikhususkan dengan satu surat yang lengkap. 3)
Tetapi perkataan Imam Shidiq Hasan Khan di atas tentang shalawat yang berbunyi: Kebiasaan Rasulullah dalam khutbahnya, beliau membawakan (yakni mengucapkan) hamdalah, shalawat kepada RasulNya, telah diberi catatan kaki oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dengan kalimat: Aku katakan,"Yang telah maklum, bahwa Nabi biasa menyebutkan namanya yang mulia dalam syahadat ketika khutbah. Adapun beliau menyebut shalawat atas beliau, maka aku tidak mengetahuinya, pun dalam satu hadits." 4)
Dari nukilan perkataan Imam Shidiq Hasan Khan tersebut jelaslah, bahwa perkara-perkara yang sering dianggap rukun khutbah Jum'at itu tidak tepat. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di. Beliau t berkata,"Adapun mensyaratkan dengan syarat-syarat itu (yakni rukun-rukun khutbah Jum'at, red.) dalam dua khutbah (Jum'at), yang berupa hamdalah dan shalawat kepada Rasulullah serta membaca satu ayat dari kitab Allah , maka mensyaratkan itu tidak ada dalilnya. Yang benar, jika seseorang berkhutbah dengan satu khutbah, yang tujuan dan nasihat telah tercapai, maka hal itu cukup, walaupun tidak menetapi apa-apa [syarat-syarat] yang disebutkan tersebut.
Memang benar, memuji Allah dan RasulNya dalam khutbah, termasuk kesempurnaan khutbah. Dan khutbah itu memuat bacaan sesuatu ayat dari kitab Allah. Tetapi (anggapan), bahwa hal-hal itu merupakan syarat-syarat atau rukun-rukun, yang khutbah itu -dianggap- tidak sah bila tanpa semuanya itu, baik (khotib) meninggalkannya dengan sengaja, lupa, atau salah, maka anggapan seperti itu perlu kajian yang nyata. Demikian juga, bahwa semata-mata melakukan empat rukun tersebut (sebagaimana madzhab Hambali, red.) tanpa ada nasihat yang menggerakkan hati -dianggap- dainggap cukup dan kewajiban (khutbah) telah gugur, padahal tujuan kewajiban itu tidak tercapai, maka (anggapan seperti itu) tidak benar." 5)
Setelah kita mengetahui, bahwa tidak ada dalil yang menyatakan perkara-perkara di atas sebagai rukun khutbah Juma't, maka khutbah yang tidak ada shalawat Nabi -sebagaimana yang ditanyakan- tidak ragu lagi tentang sahnya.
Sebagai tambahan di sini, kami sampaikan keterangan yang berkaitan dengan cara khutbah Nabi -dengan keyakinan kita- bahwa khutbah beliau adalah yang paling baik dan utama.
Di antara petunjuk Nabi dalam berkhutbah, bahwa beliau mengucapkan salam kepada hadirin ketika naik mimbar.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى كَانَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ سَلَّمَ
Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi jika telah naik mimbar biasa mengucapkan salam. 6)
Demikian juga beliau biasa membuka khutbah dengan menucapkan hamdalah, pujian kepada Allah, syahadatain, bacaan ayat-ayat taqwa, dan perkataan amma ba'd. Hal ini antara lain ditunjukkan hadits di bawah ini.
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ عَلَّمَنَا رَسُولُ اللهِ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ (نَحْمَدُهُ وَ) نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا (وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا) مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ (وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ) وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ ولاَ تَمُوتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ) ( يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَحَلَقَ مِنْهَازَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْراً وَ نِ سَاءً وَ اتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ) ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ) (أَمَّا بَعْدُ)
Dari Abdullah, dia berkata, Rasulullah telah mengajari kami khutbah untuk keperluan:
Alhamdulillah…..., artinya: Segala puji bagi Allah (kami memujiNya), mohon pertolongan kepadaNya, dan memohon ampunan kepadaNya. Serta kami memohon perlindungan kepadaNya dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amal kami.
Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Allah, tidak ada seorangpun yang menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan, maka tidak ada yang memberinya petunjuk.
Saya bersaksi, bahwa tidak ada yang diibadahi secara benar kecuali Allah (semata, tidak ada sekutu bagiNya), dan saya bersaksi, bahwa Muhammad n adalah hamba dan utusanNya.
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran:102).
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An Nisa:1)
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (QS Al Ahzab: 70-71). (Amma ba'du). 7)
Setelah memaparkan sanad-sanad hadits khutbah hajah, Syaikh Al Albani berkata dalam penutup kitab Khutbah Hajah tersebut,"Dari hadits-hadits yang telah lalu, menjadi jelaslah bagi kita bahwa khutbah ini (yaitu perkataan 'innal hamda lillah…') digunakan untuk membuka seluruh khutbah-khutbah, baik khutbah nikah, khutbah Jum'at, atau lainnya." 8)
Walaupun membuka khutbah Jum'at dengan khutbah hajah sebagaimana di atas hukumnya bukan wajib, namun pastilah merupakan keutamaan, karena diajarkan oleh Nabi. Dari khutbah hajah itu kita tahu, bahwa khutbah Nabi dibuka dengan hamdalah, pujian kepada Allah, syahadatain, bacaan ayat-ayat taqwa, dan perkataan amma ba'd.
Imam Ibnul Qayyim berkata,"Tidaklah beliau n berkhutbah, kecuali beliau membukanya dengan hamdalah, membaca syahadat dengan dua kalimat syahadat, dan menyebut diri beliau sendiri dengan nama diri beliau." 9) Tentang membaca syahadat ketika khutbah, ditegaskan juga dalam hadits lain, sebagaimana di bawah ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda,"Tiap-tiap khutbah yang tidak ada tasyahhud (syahadat) padanya, maka khutbah itu seperti tangan yang terpotong." 10)
Hadits di atas jelas menunjukkan syari'at membaca syahadat di dalam khutbah. Namun anehnya, Syafi'iyyah dan Hambaliyyah tidak memasukkannya sebagai salah satu dari rukun khutbah Jum'at. Semenetara itu, mereka memasukkan membaca shalawat Nabi di dalam rukun-rukun itu. Padahal dalil yang menyatakannya sebagai rukun tidak ada, sebagaimana penjelasan para ulama yang kami nukilkan di atas.
Walaupun demikian, kami tidak mengingkari keutamaan membaca shalawat Nabi dalam khutbah. Yang kami ingkari ialah menganggapnya sebagai rukun khutbah. Membaca shalawat di dalam khutbah merupakan sunnah dan keutamaan, sebagaimana hal itu dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dalam khutbah beliau. Berikut kami sebutkan riwayat tentang hal tersebut.
عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ كَانَ أَبِي مِنْ شُرَطِ عَلِيٍّ رَضِي اللهُ عَنْهُ وَكَانَ تَحْتَ الْمِنْبَرِ فَحَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ صَعِدَ الْمِنْبَرَ يَعْنِي عَلِيًّا رَضِي اللهُ عَنْهُ فَحَمِدَ اللهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ وَقَالَ خَيْرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ وَالثَّانِي عُمَرُ وَقَالَ يَجْعَلُ اللهُ تَعَالَى الْخَيْرَ حَيْثُ أَحَبَّ
Dari 'Aun bin Abi Juhaifah, dia berkata,"Dahulu bapakku termasuk pengawal Ali, dan berada di bawah mimbar. Bapakku bercerita kepadaku, bahwa Ali naik mimbar, lalu memuji Allah Ta'ala dan menyanjungNya, dan bershalawat atas Nabi, dan berkata,'Sebaik-baik umat ini setelah Nabinya, ialah Abu Bakar, yang kedua ialah Umar,' Ali juga berkata,'Allah menjadikan kebaikan di mana Dia cintai'." 11)
Dan tentu saja, khutbah Nabi berisi tentang nasihat-nasihat yang sangat berharga. Imam Ibnul Qayyim berkata,"Dan pokok khutbah-khutbah Nabi adalah pada bacaan hamdalah, sanjungan kepada Allah atas nikmat-nikmatNya, sifat-sifat kesempurnaanNya, dan pujian-pujian kepadaNya. Juga pengajaran kaidah-kaidah Islam, menyebutkan jannah, naar, hari kiamat, perintah taqwa, penjelasan sebab-sebab kemurkaan Allah, dan tempat-tempat keridhaanNya. Di atas inilah pokok khutbah-khutbah beliau." 12)
Harapan kami, semoga penjelasan ini dapat menjadi petunjuk dan bermanfaat bagi kita. Wallahu a'lam.
[Sumber: Majalah As Sunnah Edisi 04/VII/1424H]
[1] Lihat Al Ikhtiyar 1/83, karya Al Maushuli Al Hanafi.
[2] Lihat Al Kafi, karya Al Qurthubi 1/251.
[3] Ajwibah An Nafi'ah 'An As-ilah, Lajnah Masjidil Jami'ah, hal. 53-55, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Juga lihat At Ta'liqat Arh Rhadhiyyah 'Ala Ar Raudhah An Nadhiyyah, 1/ 368-369, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[4] Idem.
[5] Al Mukhtarat Al Jaliyyah, hal. 70; dinukil dari Imamatul Masjid, hal. 85, karya Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad.
[6] HR Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibni Majah.
[7] HR Ahmad dan lainnya. Syaikh Al Albani mengumpulkan sanad-sanad hadits ini di dalam sebuah kitab kecil dengan judul Khutbah Hajah.
[8] Khutbah Hajah, hal. 31, karya Syaikh Al Albani.
[9] Zadul Ma'ad 1/189.
[10] HR Abu Dawud, kitab Al Adab, Bab Di Dalam Khutbah. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Dawud.
[11] Riwayat Ahmad di dalam Musnad-nya 1/107 dan dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir.
[12] Zadul Ma'ad 1/188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar